Minggu, 24 Agustus 2008

Insentif bukan masalah utama peneliti Indonesia

Wacana insentif bagi peneliti menjadi ramai setelah Presiden SBY mengemukakannya dalam peringatan Hakteknas yang lalu untuk memacu produktifitas para ilmuwan Indonesia. Dana penelitian yang rendah sering dijadikan alasan akan rendahnya produktifitas ilmuwan kita. Benarkah?

Faktanya perbandingan dana penelitian (R&D) antara Indonesia dan Thailand berada pada kisaran yang sama sepanjang masa antara tahun 1968-2000, yaitu antara 0.1-0.4 % terhadap PDB. Indonesia bahkan pernah mencapai angka tertinggi tahun 1982 yaitu 0.4% melebihi Thailand saat itu. Akan tetapi dengan taraf pengeluaran yang sama, perbedaan pada output kemampuan teknologi yang dicerminkan dengan angka indek total faktor produktifitas antara Indonesia dan Thailand sangat mencolok: 0.31 dibanding Thailand yang mencapai 2.02 (World Bank, 2004). Di samping itu prosentase jumlah personil yang terlibat di dalam litbang Thailand tidak mencapai separohnya Indonesia.

Jelas, dari data di atas rendahnya produktifitas peneliti Indonesia bukan disebabkan karena terlalu kecilnya dana penelitian. Bishry dan Hidayat (1998) mengambil contoh tentang penggunaan anggaran proyek penelitian di BPPT dari proyek berskala kecil (kurang dari 100 jt rupiah) hingga besar (lebih dari 5M). Dari semua contoh proyek yang ada rata-rata 95% dana digunakan untuk fasilitas mesin dan gedung dan alokasi dana yang disebut kontrak servis. Untuk proyek yang bernilai besar prosentasi itu bahkan mencapai lebih dari 99%.

Bandingkan dengan alokasi dana penelitian di Jepang sebesar 7.6 T yen yang meliputi 46% untuk insentif gaji peneliti, 17% fasilitas mesin dan gedung, 16% material, dan 20% biaya tak terduga (Foreign Press Center of Japan, 1986). Prosentase insentif gaji dalam struktur anggaran penelitian di universitas dan lembaga penelitian di Amerika juga mencapai sekitar 50%. Jelas, masalah di Indonesia bukan pada besarannya, tetapi pada penggunaannya yang sama-sekali tidak efisien, dan adanya dugaan maraknya praktek perburuan rente (rent seeking).

Melihat data tersebut, wacana insentif berupa fasilitas penunjang agaknya tidak tepat sasaran. Alokasi fasilitas yang berwujud fisik yang terlalu dominan selama ini justru diduga merupakan celah yang memberi kesempatan bagi penyelewengan berupa KKN dalam pengadaan barang.

Fasilitas penelitian di lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah di Indonesia juga tidak bisa dibilang miskin. Kalau kita mengunjungi laboratorium-laboratorium milik pemerintah, maka kita bisa menemukan peralatan-peralatan yang paling mutakhir di dunia yang jarang bisa ditemui di pusat-pusat laboratorium lembaga penelitian top di dunia sekalipun. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian pemerintah cerita kaget ketika baru pulang belajar dari luar negeri menemukan sebuah peralatan super computer yang paling canggih di dunia saat itu sudah bertahun-tahun masih terbungkus plastik tak ada yang menggunakan. Kawan saya yang lain baru-baru ini juga membeli peralatan NMR terkini dari Jepang seharga belasan milyar, tetapi sambil ketawa bilang belum pernah satu pun paten atau paper di jurnal internasional dia terbitkan dari alat canggih itu. Ada lagi kawan saya yang sempat panas beradu argumentasi dengan saya tentang pembelian software impor pengolah data gempa seharga hampir 10 milyar, tetapi dia bilang selama 10 tahun baru bisa memahaminya 10%. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian milik pemerintah yang lain bahkan mengatakan, kalau mau makan “pepes” IC (integrated circuit) pun juga bisa saking melimpahnya dana untuk membeli komponen.

Jelas ada yang salah dari ini semua.

Douglas Osheroff, penerima Nobel Fisika tahun 1996 mengatakan pada ceramahnya di LIPI tahun 2005, “Dana memang perlu, tetapi bukanlah faktor yang utama untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah penelitian yang besar.” Yang lebih diutamakan adalah challenging mind yang “never give up, whatever happen badly,” menurutnya.

Jiwa yang selalu tertantang itulah yang diperlukan bagi para peneliti untuk berprestasi. Menciptakan lingkungan yang demikian adalah tugas pemerintah. Selama suasana yang selalu menantang para ilmuwan untuk terus berpikir memecahkan masalah tidak ada, berapa pun gaji dan bagaimana pun canggihnya fasilitas tidak akan menghasilkan apa-apa.

Tantangan bagi peneliti bisa berupa dua hal, pertama ajang kompetisi sesama peneliti di tingkat dunia dan tantangan permasalahan dari industri. Kesempatan untuk ikut dalam ajang kompetisi level dunia sangat membantu untuk mendorong para ilmuwan berkarya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh para siswa SMA yang mengikuti lomba olimpiade sains internasional. Hawa kompetisi itu yang membuat mereka terus berusaha untuk maju dan mampu berprestasi.

Akan tetapi di dunia riset kita, hawa kompetisi itu hampir tidak ada. Kompetisi dunia riset sangat berbeda atau bahkan bertolak belakang sekali dengan kompetisi seperti yang terjadi di olimpiade sains yang berbasis pengerjakan soal ujian. Dunia riset lebih berhadapan dengan problem yang masih gelap, menemukan problem itu sendiri merupakan separoh dari kerja riset. Riset lebih memerlukan jiwa serendipity, kemampuan mencari sesuatu yang belum pernah ada, daripada kemampuan berpikir klasikal yang mengandalkan ingatan yang kuat terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah baku seperti umumnya pada soal-soal ujian. Riset sangat lain dengan mengerjakan soal ujian. Penelitian menunjukkan keberhasilan pada riset lebih didominasi oleh mereka-mereka yang menduduki ranking menenegah daripada kelompok teratas. Dengan demikian sistem pendidikan kita yang menumpukan pada pengerjaan soal-soal ujian ikut andil dalam mematikan kreatifitas para ilmuwan kita.

Tantangan riil dari dunia industri juga mendorong para ilmuwan dan peneliti untuk terus berpikir dan berkarya. Hal itulah yang membedakan antara Thailand dan Indonesia. Di Thailand dana R&D yang terbatas difokuskan untuk mendorong proses adopsi, adaptasi dan difusi teknologi di sektor industri daripada untuk melakukan kreasi teknologi baru dengan judul yang sering bombastis seperti di Indonesia. Dari data Papitek-LIPI (1995), jumlah SDM yang berpendidikan S2 dan S3 yang sebanyak 7.500 personil, hanya 5% yang berada di sektor industri, sebagian besar terkonsentrasi di lembaga pemerintah yang tantangan untuk berprestasi sangat rendah.

Ada dua hal paling tidak yang bisa direkomendasikan untuk mendongkrak output para ilmuwan dan peneliti Indonesia. Pertama, relokasi sebagian besar PNS peneliti dari lembaga pemerintah ke swasta, kedua, syaratkan minimal 80% secara bertahap dari dana pengadaan barang dan jasa yang dibiayai APBN harus berasal dari produk dalam negeri. Dengan demikian swasta akan terdorong untuk terus meningkatkan produksi yang disupport oleh ketersediaan SDM yang unggul, sehingga langkah peningkatan produktifitas para ilmuwan terjadi secara mekanisme pasar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Michael E. Porter dalam The Competitive Advantage of Nations (1990),National Budget must drive domestic demand, not foreign demand.”

Hakteknas: Rame Seremoni Sepi Prestasi

“Iptek merupakan prerequisite for power, progress and prosperity,” Tajuk Kompas (8/8/08). Ungkapan ini mengingatkan kembali posisi penting kemajuan iptek dalam pembangunan bangsa. Hanya saja baik disadari atau tidak cara pandang kita terhadap penguasaan iptek masih bersifat seremonial daripada upaya yang nyata untuk menjadikan iptek benar-benar sebagai mesin bagi pertumbuhan ekonomi.

Kita sering merasa cukup puas dengan capaian-capaian iptek yang disimbolkan dengan peraihan medali dalam olimpiade sains tingkat SMU atau even-even yang dikemas dengan nama inovasi teknologi untuk meramaikan perayaan hari-hari besar nasional. Sedangkan langkah riil yang kita laksanakan justru bertolak-belakang dengan upaya penguasaan iptek dalam artian sesungguhnya untuk memberikan nilai tambah yang tinggi dalam proses ekonomi. Dalam kenyataan yang sesungguhnya kita justru sedang berada dalam proses disintegrasi peran iptek dari proses pembangunan.

Tema “Inovasi dalam Pemberdayaan Industri” dalam peringatan Hakteknas ke-13 tahun ini adalah tepat. Hanya saja langkah konkrit harus ditindaklanjuti dari sekedar seremonial pagelaran iptek. Dalam gelombang globalisasi yang dahsyat akibat kebijakan liberaslisasi pasar domestik yang diambil oleh pemerintahan SBY-JK, fenomena deindustrialisasi yang ditandai beralihnya produsen dalam negeri menjadi perusahaan trading akibat membanjirnya produk asing, secara tidak langsung akan memarjinalkan peran iptek di dalam industri.

Iptek merupakan tool dan know-how untuk menciptakan sebuah produk. Dengan demikian selama proses produksi tidak terjadi, maka tidak ada tempat bagi peran iptek yang signifikan. Penguasaan dan pengembangan iptek tidak bisa dipisahkan dari perannya dalam menyelesaikan masalah dalam sektor industri.

Menarik kalau melihat perincian publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia di jurnal internasional yang dicatat oleh LIPI tahun 2004. Dari 2.948 paper jumlah publikasi selama 10 tahun, ternyata 50% berasal dari disiplin ilmu pertanian dan kedokteran, sedangkan bidang teknik yang sangat erat kaitannya dengan kemajuan teknologi sebuah negara hanya menyumbang 6.5%. Lebih ironis lagi mengingat jumlah ilmuwan doktor terbanyak berada di lembaga penelitian milik pemerintah terutama yang berkaitan dengan bidang teknik. Kalau dibagi dengan jumlah doktor kita yang mencapai sekitar 7.000 orang, maka setiap satu orang lulusan doktor hanya sekali mempublikasikan papernya di jurnal internasional selama 20 tahun, notabene sepanjang karir hidupnya. Jumlah ini jauh di bawah Malaysia yang mencapai 10.674, dan hanya terpaut sedikit dibanding dengan satu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mencapai jumlah 2.862 paper.



Data ini paling tidak berbicara tentang dua hal: pertama, bahwa kemajuan iptek hanya bisa dicapai apabila pengembangan iptek dilakukan sejalan dengan pemecahan masalah riil secara langsung; kedua, bahwa ilmuwan yang terkonsentrasi di LPND adalah bagian dari permasalahan karena mereka lebih banyak ’idle’ daripada terlibat dalam aktifitas riil untuk memecahkan permasalahan industri.

Syarat untuk bisa diterima di publikasi jurnal internasional yang paling pertama adalah kontribusi yang signifikan. Hal ini tertulis di bagian paling atas dari daftar penilaian (referee report) hampir seluruh jurnal internasional yang telah mapan. Kontribusi ilmiah artinya sesuatu yang baru yang diberikan oleh penulis, bisa berupa metode baru, hasil yang baru atau konsep/teori baru untuk memecahkan permasalahan yang ada sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Dengan demikian tidak ada kontribusi apabila tidak ada andil dalam pemecahan masalah.

Keterkaitan technology-supply and demand menjadi hal yang penting dalam upaya pengembangan teknologi. Bisa difahami kenapa bidang pertanian dan kedokteran termasuk bidang yang paling maju kontribusi ilmiahnya dibanding dengan bidang lain manapun di Indonesia, karena kedua bidang ini adalah termasuk bidang yang secara langsung berkaitan dengan permasalahan karena tuntutan pasar, sehingga para ilmuwannya terus-menerus berupaya untuk mencari solusi pemecahannya. Hal ini akan membangun keterkaitan yang baik antara sisi pemasok dan pengguna iptek.

Di bidang teknik dan rekayasa, terutama, permasalahannya bukan terletak pada salah satu sisi, baik demand side maupun supply side, tetapi dikarenakan upaya menjembatani kedua sisi itu yang tidak terjadi, sehingga keterkaitan yang erat antara keduanya tidak terbangun. Kebutuhan akan teknologi bagi dunia industri di sisi demand sangat besar dan terus membesar. Hanya saja kebutuhan itu selama ini hanya bisa dipenuhi dari produk jadi berasal dari impor. Di sisi lain, sebagai pihak pemasok teknologi, lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah bukanlah tidak mampu memenuhi kebutuhan akan teknologi bagi industri, mengingat industri kita masih terkonsentrasi pada low-tech dan medium-tech. Akan tetapi karena rendahnya tuntutan kualitas dan pertanggungjawaban hasil, akibatnya buah penelitian oleh lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah tidak mampu memenuhi standar industri. Sistem proyek dalam penelitian juga merupakan penyebab tidak terjadinya akumulasi knowledge yang cukup untuk bisa menjawab permasalahan dunia industri.

Upaya menjembatani itu bisa dilakukan dengan cara melibatkan secara langsung para ilmuwan dari LPND ke dalam dunia industri. Keterlibatan langsung dan proses yang terus-menerus menjadi dua kata kunci. Oleh karena itu perlu dilakukan relokasi secara sistematis para ilmuwan dari lembaga penelitian ke sektor industri. Mengingat sangat rendahnya kualitas SDM di dunia industri, maka relokasi itu akan mendorong proses upgrading teknologi bagi industri yang selanjutnya akan meningkatkan demand terhadap teknologi.

Peningkatan kebutuhan akan litbang terapan pada industri juga penting untuk meningkatkan demand akan teknologi bagi industri terhadap institusi pemasok teknologi. Untuk itu kebijakan insentif bagi industri untuk melakukan litbang sebagaimana diterapkan di negara-negara maju sangat diperlukan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, secara berangsur harus dihilangkan diganti dengan pajak penghasilan (PPH) karena ini menghambat proses industri untuk meningkatkan nilai tambah yang sarat dengan kebutuhan akan teknologi.
Keberhasilan membuat jembatan yang menghubungkan sisi demand dan supply teknologi antara industri dan lembaga penelitian menjadi faktor penting bagi kemajuan iptek nasional. Selama keterkaitan yang baik antara industri dan lembaga penelitian tidak terbangun dengan baik, maka para ilmuwan kita hanya akan sibuk dengan kegiatan-kegiatan seremonial iptek sekedar untuk meramaikan even-even lomba karya ilmiah.